Mikropaleontologi merupakan cabang dari ilmu paleontologi yang mempelajari sisa – sisa organisme
yang telah terawetkan di alam berupa fosil yang berukuran mikro.
Mikropaleontologi juga didefinisikan sebagai studi sistematik yang membahas
mikrofosil, klasifikasi, morfologi, ekologi dan mengenai kepentingannya
terhadapstratigrafi. Umumnya fosil mikro berukuran lebih kecil dari 5 mm, namun
ada diantaranya yang berukuran sampai 19 mm seperti halnya genus Fusilina.
Kegunaan
Fosil Foraminifera
Fosil
foraminifera sering dipakai untuk memecahkan masalah geologi terutama bagi
perusahan – perusahan minyak walaupun akhir – akhir ini peranannya sedikit
tergeser oleh teknologi yang lebih maju yaitu dengan ditemukannya fosil
nannoplankton yang ukurannya fantastik kecil ( 3 – 40 mikron ). Karena itu
dalam pengamatan diperlukan mikroskop dengan perbesaran minimum 5000 kali
bahkan sampai 20000 kali.
Kegunaan
fosil foraminifera adalah :
•
Untuk penentuan umur batuan yang mengandung fosil foraminifera tersebut.
•
Membantu dalam studi lingkungan pengendapan atau fasies.
•
Korelasi stratigrafi dari suatu daerah dengan daerah lain, baik korelasi
permukaan atau korelasi bawah permukaan.
•
Membantu menentukan batas – batas suatu transgresi dan regresi, misalnya dengan
menggunakan foraminifera benthos Rotalia beccarii ( fosil penciri daerah
transgresi ), Gyroidina soldanii ( fosil penciri bathial atas) dan lain – lain.
•
Bahan penyusun Biostratigrafi.
Berdasarkan
kegunaannya, maka dikenal beberapa istilah yaitu :
•
Fosil Indeks / Fosil penunjuk / Fosil Pandu : fosil yang digunakan sebagai
penunjuk umur relatif. Pada umumnya fosil jenis ini mempunyai penyebaran
vertikal pendek dan penyebaran lateral luas serta mudah dikenal.
•
Fosil Bathimetri / Fosil kedalaman : dapat digunakan untuk menentukan
lingkungan pengendapan. Pada umunya adalah benthos yang hidup didasar.
Contoh
: Elphidium sp, penciri lingkungan transisi ( Tipsword, 1966 ).
•
Fosil Horison / Fosil lapisan / Fosil diaognostik / Fosil kedalaman : fosil
yang mencirikan atau khas terdapat di dalam lapisan yang bersangkutan.
Contoh
: Globorotalia tumida ( penciri N 18 ).
•
Fosil lingkungan : dapat dipergunakan sebagai penunjuk lingkungan sedimentasi.
Contoh
: Radiolaria sebagai penciri laut dalam.
•
Fosil iklim : dapat dipergunakan sebagai penunjuk iklim pada saat itu.
Contoh
: Globigerina pachiderma sebagai penciri iklim dingin.
Makna
dan Tata Cara Penamaan Fosil
Seorang
sarjana Swedia, Carl Von Line (1707-1778)yang kemudian mengganti namanya
menjadi Carl Von Linnaeus menyatakan bahwa nama yang telah dipergunakan pada
suatu individu tidak dipergunakan untuk nama individu lain (hukum LAW
PRIORITY).
Nama
kehidupan pada tingkat genus terdiri dari satu kata, sedangkan tingkat spesies
terdiri dari dua kata, tingkatan subspesies terdiri dari tiga kata. Nama – nama
kehidupan selalu diikuti oleh nam orang yang menemukannya.
Beberapa
contoh penamaan fosil :
•
Globorotalia menardii exilis Blow, 1969
Penamaan
fosil hingga subspesies dikemukakan oleh Blow, tahun 1969.
•
Globorotalia humerosa n.sp TAKAYANAGI & SAITO, 1962,
n.sp
artinya spesies baru.
•
Globorotalia ruber elongatus (D’ORBIGNY), 1862
Penemuan
pertama kali dari fosil tersebut adalah D’ORBIGNY dan pada tahun 1862 fosil
tersebut diubah oleh ahli yang lain yang menemukannya. Hal ini sebagai
penghormatan bagi penemu fosil pertama kali nama fosil tersebut tetap
dicantumkan dalam kurung.
•
Pleumotora carinata GRAY, Var woodwrdi MARTIN
Yang
artinya GRAY memberikan nama spesies sedangkan MARTIN memberikan nama varietas.
•
Globorotalia acostaensis pseudopima n.sbsp BLOW, 1969
n.sbsp
artinya subspesies baru.
•
Dentalium (s.str) ruteni MARTIN
Artinya
fosil yang ditemukan tersebut sinonim dengan Dentalium ruteni MARTIN yang
diumumkan sebelumnya.
•
Globigerina angulisuturalis ?
Artinya
tidak yakin apakah Globigerna angulisuturalis
•
Globorotalia cf. Tumida
Artinya
tidak yakin apakah bentuk ini globorotalia tumida tetapi dapat dibandingkan
dengan spesies ini. (cf = confer)
•
Sphaerodinella aff dehiscens
Artinya
bentuk ini berdekatan (berfamili) dengan Sphaerodinella dehiscens (aff =
affiliation)
•
Ammobaculites spp
Mempunyai
arti bermacam – macam spesies
•
Recurvoides sp
Artinya
spesies (nama spesies belum dijelaskan)
Teknik
Penyajian Fosil :
1. Pengambilan Sampel
Pengambilan
sampel batuan di lapangan hendaknya diperhatikan tujuan yang akan kita capai.
Mendapatkan sampel yang baik diperhatikan interval jarak tertentu terutama
untuk menyusun biostratigrafi.
Kriteria
- kriteria pengambilan sampel batuan :
•
Memiiih sampel batuan yang insitu dan bukan berasal dari talus, karena.
dikhawatirkan fosilnya sudah tidak insitu
•
Batuan yang berukuran butir halus lebih memungkinkan mengandung fosil, karena
batuan yang berbutir kasar tidak dapat mengawetkan fosil atau kemungkinan
fosilnya rusak. Contoh batuan yang diambil sebaiknya dari batuan lempung
(clay), serpih (shale), napal ,(marl), tufa napalan (marly tuff), batugnmping
bioklastik, batugamping dengan campuran batupasir sangat halus.
•
Batuan yang lunak akan memudahkan dalam proses pemisahan fosil.
•
Jika endapan turbidit, diambil pada bntuan yang berbutir halus, yang
diperkirakan merupakan endapan suspensi yang juga mencerminkan kondisi
normalnya
2. Penguraian / Pencucian
Proses
pencucian batuan dilakukan dengan cara yang umum sebagai berikut :
•
Batuan sedimen ditumbuk dengan palu karet atau palu kayu hingga ukuran
diameternya, 3-6mm.
•
Melarutkan dalam larutan H202 (hidrogen peroksida) 50% dan diaduk atau
dipanaskan.
•
Kemudian mendiamkan sampai butiran batuan tersebut terlepas semua (24 jam),
jika fosil masih nampak kotor dapat dilakukan perendaman dengan air sabun,
(lalu dibilas dengan air bersih.
•
Selanjutnya dikeringkan dengan terik matahari dan siap untuk diayak.
3. Pemisahan Fosil
Langkah
awal menganalisa, perlu diadakan pemisahan fosil dari kotoran butiran yang
bersamarnya. Cara pengambilan fosil - fosil tersebut dengan jarum dari cawan
tempat contoh batuan untuk memudahkan dalam pengambilan fosilnya perlu
disediakan air (jarum dicelupkan terlebih dahulu sebelum pengambilan fosil).
Peralatan
yang dibutuhkan dalam pemisahan fosil antara lain :
Cawan untuk tempat contoh batuanØ
Jarum untuk mengambil fosil ' Kuas bulu halusØ
Cawan tempat airØ
Lem untuk merekatkan fosilØ
Fosil yang telah dipisahkan diletakkan pada
plate (tempat fosil).Ø
PANGENALAN
CANGKANG FORAMINIFERA
DASAR
TEORI
- Bentuk Test dan Kamar Foraminifera
Yang
dimaksud dengan bentuk test adalah bentuk keseluruhan dari cangkang
foraminifera. Sedangkan bentuk kamar adalah bentuk dari masing-masing kamar
pembentukan test.
- Septa dan Suture
Septa
adalah bidang yang merupakan batas antara kamar satu dengan yang lainnya,
biasanya terdapat lubang-lubang halus yang disebut dengan foramen. Septa tidak
dapat dilihat dari luar test, sedangkan yang tampak pada dinding luar test
hanya berupa garis yang disebut suture.
Suture
merupakan garis yang terlihat pada dinding luas test, merupakan perpotongan
septa dengan dinding kamar. Suture penting dalam pengklasifikasian foraminifera
karena beberapa spesies memiliki suture yang khas :
Macam-macam
bentuk suture adalah :
i.
Tertekan (melekuk), rata, atau muncul di permukaan test.
Contoh
: Chilostomella colina, untuk bentuk suture tertekan.
ii.
Lurus, melenglung lemah, sedang atau kuat.
Contoh
: Orthomorpina challengeriana, untuk bentuk suture lurus
iii.
Suture yang mempunyai hiasan.
Contoh
: Elphindium incertum, untuk bentuk hiasan yang berupa bridge.
- Jumlah Kamar dan Jumlah Putaran
Mengklasifikasikan
foraminifera, jumlah kamar dan jumlah putaran perlu diperhatikan karena spesies
tertentu mempunyai jumlah kamar pada sisi ventral yang hampir pasti, sedangkan
pada sisi dorsal akan berhubungan erat dengan jumlah putaran. Jumlah putaran yang
banyak umumnya mempunyai jumlah kamar yang banyak pula, namun jumlah putaran
itu juga jumlah kamarnya dalam satu spesies mempunyai kisaran yang hampir
pasti. Pada susunan kamar trochospiral jumlah putaran dapat diamati pada sisi
dorsal, sedangkan pada planispiral jumlah putaran pada sisi ventral dan dorsal
mempunyai kenampakan yang sama.
Cara
menghitung putaran adalah dengan menentukan arah perputaran dari cangkang.
Kemudian menentukan urutan pertumbuhan kamar-kamarnya dan menarik garis
pertolongan yang memotong kamar 1 dan 2 dan pula menarik garis tegak lurus yang
melalui garis pertolongan pada kamar 1 dan 2.
- Ornamen (Hiasan) Foraminifera
Ornamen
atau hiasan dapat juga dipakai sebagai penciri khas untuk genus atau spesies
tertentu. Contohnya pada Globoquadrina yang memiliki hiasan pada aperture yaitu
flape.
Komposisi
Test Foraminifera
Berdasarkan
komposisi test foraminifera dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu :
1.
Dinding Chitin / tektin
Dinding
tersebut terbuat dari zat tanduk yang disebut chitin, namun foraminifera dengan
dinding seperti ini jarang dijumpai sebagai fosil. Foraminifera yang mempunyai
dinding chitin, antara lain :
a.
Golongan Allogromidae
b.
Golongan Miliolidae
c.
Golongan Lituolidae
d.
Beberapa golongan Astrorhizidae, Ciri-ciri dinding chitin adalah flexible,
transparan, berwarna kekuningan dan imperforate.
2.
Dinding Arenaceous dan aglutinous
Terbuat
dari zat atau mineral asing di sekelilingnya kemudian direkatkan satu sama
dengan zat perekat oleh organisme tersebut. Pada dinding arenaceous materialnya
diambil dari butir-butir pasir saja, sedangkan dinding agglutinin materialnya
diambil butir-butir, sayatan-sayatan mika, spone specule, fragmen-fragmen dari
foraminifera lainnya dan Lumpur. Zat perekatnya bias chitin, oksida besi atau
zat perekat gampingan. Zat perekat gampingan adalah khas untuk foraminifera
yang hidup di daerah tropis, sedangkan zat perekat silica adalah khas untuk
foraminifera yang hidup perairan dingin.
Contoh
:
Dinding Aglutinous : Ammobaculites aglutinous,
Saccvamina sphaerica
Dinding Aranaceous : Psammosphaerav
3.
Dinding Siliceous
Beberapa
ahli (Brady, Humbler, Chusman, Jones) berpendapat bahwa dinding silicon
dihasilkan oleh organisme itu sendiri. Menurut Glessner dinding silicon berasal
dari zat sekunder. Galloway berpendapat bahwa dinding silicon dapat dibentuk
oleh organisme itu sendiri (zat primer) ataupun terbentuk secara sekunder. Tipe
dinding ini jarang ditemukan, hanya dijumpai pada beberapa golongan
Ammodiscidae dan beberapa spesies dari Miliodae.
4.
Dinding Calcareous atau gampingan
Dinding
yang terdiri dari zat-zat gampingan dijumpai pada sebagian besar foraminifera.
Dinding
yang gampingan dapat dikelompokkan menjadi :
1.
Gampingan Porselen
Gampingan
porselen adalah dinding gampingan yang tidak berpori, mempunyai kenampakan
seperti pada porselen, bila kena sinar langsung berwarna putih opaque.
Contoh
: Quinqueloculina Pyrgo
2.
Gamping Granular
Gamping
Granular adalah dinding yang terdiri dari kristal-kristal kalsit yang granular,
pada sayatan tipis ini kelihatan gelap. Dijumpai pada golongan endothyra dan
beberapa spesies dari bradyna serta Hyperammina.
3.
Gamping Komplek
Gamping
Komplek adalah dinding dijumpai berlapis, kadang- kadang terdiri dari satu
lapis yang homogen, kadang-kadang dua lapis bahkan sampai empat lapis. Terdapat
pada golongan Fussulinidae.
4.
Gamping Hyaline
Terdiri
dari zat-zat gampingan yang transparan dan berpori. Kebanyakan dari
foraminifera plankton mempunyai dinding seperti ini.
BENTUK-BENTUK
TEST FORAMINIFERA :
- Cancellate Discoidal Biumbilicate Biconvex Flaring
- Tabular Bifurcating Radiate Arborescent Irregular
- Hemispherical Zigzag Conical Spherical
- Spiroconvex Umbilicoconvex Lenticular Biumbilicate Fusiform
MACAM
HIASAN PADA TEST FORAMINIFERA
Pada
Permukaan Test :
Punctate,
Smooth, Reticulate, Pustulose , Cancellate, Axial Costae Spiral Costae
Pada
Umbilicus
Deeply
Umbilicus, Open Umbilicus, Umbilicus Ventral Umbo
Pada
Aperture :
Flape
Tooth Lip/Rim Bulla Tegilla
Pada
Peri- peri :
Keel,
Spine
Pada
Suture
Bridge,
Limbate Retral Processes Raised Bosses
MACAM
APERTURE FORAMINIFERA BENTOS
Bundar
,Cribate ,Phyaline ,Crescentric ,Slitlike ,Multiple, Radiate
MACAM
BENTUK KAMAR FORAMINIFERA :
Hemispherical
,Angular ,Rhomboid ,Angular ,Conical ,Radial ,Elongate ,Claved,Tubulospinate
,Cyclical ,Flatulose ,Tabular ,Semicirculer, Spherical ,Pyriform ,Globular
,Oved ,Angular truncate
FORAMINIFERA
PLANKTON
DASAR
TEORI
Tahapan
Cara Mendeskripsi Foraminifera Planktonik
Di
dalam mendeskripsi foraminifera planktonik dalam penentuan genus maupun spesies
disini harus diperhatikan, antara lain :
I.
Susunan Kamar
Susunan
kamar pada foraminifera plankton dapat dibagi :
1.
Planispiral, sifat terputar pada satu bidang, semua kamar terlihat, pandangan
serta jumlah kamar ventral dan dorsal sama.
Contoh
: Hastigerina
2.
Trocospiral, sifat terputar tidak pada satu bidang, tidak semua kamar terlihat,
pandangan serta jumlah kamar ventral dan dorsal tidak sama.
Contoh
: Globigerina
3.
Streptospiral, Sifat mula-mula trochospiral, kemudian planispiral sehingga
menutupi sebagian atau seluruh kamar-kamar sebelumnya.
Contoh
: Pulleniatina
II.
Bentuk Kamar/ Test
III.
Suture
IV.
Jumlah Kamar dan Jumlah Putaran
V.
Aperture
Aperture
adalah lubang utama dari test foraminifera yang terletak pada kamar terakhir.
Khusus foraminifera plankton bentuk aperture maupun variasinya lebih sederhana.
Umumnya mempunyai bentuk aperture utama interiomarginal yang terletak pada
dasar (tepi) kamar akhir (septal face) dan melekuk ke dalam, terlihat pada
bagian ventral (perut).
Macam-macam
aperture yang dikenal pada foraminifera plankton :
•
Primary Aperture Interiomarginal, yaitu :
a.
Primary Aperture Interimarginal Umbilical, adalah aperture utama
interiomarginal yang terletak pada daerah umbilicus atau pusat putaran. Contoh
: Globigerina
b.
Primary Aperture Interimarginal Umbilical Extra Umbilical, adalah aperture
utama interiomarginal yang terletak pada daerah umbilicus melebar sampai ke
peri-peri. Contoh : Globorotalia
c.
Primary Aperture Interimarginal Equatorial, adalah aperture utama
interiomarginal yang terletak pada daerah equator, dengan ciri-ciri dari
samping kelihatan simetri dan hanya dijumpai pada susunan kamar planispiral.
Equator merupakan batas putaran akhir dengan putaran sebelum peri-peri. Contoh
: Hastigerina
•
Secondary Aperture / Supplementary Aperture
Merupakan
lubang lain dari aperture utama dan lebih kecil atau lubang tambahan dari aperture
utama. Contoh : Globigerinoides
•
Accessory Aperture
Merupakan
aperture sekunder yang terletak pada struktur accessory atau aperture tambahan.
Contoh : Catapsydrax
VI.
Komposisi Test
VII.
Hiasan / Ornamen
Pengenalan
Genus dan Spesies Foraminifera Planktonik
Foraminifera
planktonik khusus terdapat pada superfamili Globigerinicea, yang dapat dibagi
menjadi :
1.
Family Globigeriniidae
Famili
ini pada umumnya mempunyai bentuk test spherical atau hemispherical, bentuk
kamar globural dan susunan kamar trochospiral rendah atau tinggi. Aperture pada
umumnya terbuka lebar dengan posisi yang terletak pada umbilicus dan juga pada
suture atau pada apertural face. Beberapa genus yang termasuk dalam family
Globigeriniidae :
i.
Genus Orbulina
Ciri
khas dari genus ini adalah adanya aperture small opening. Aperture ini adalah
akibat dari terselubungnya seluruh kamar sebelumnya oleh kamar terakhir. Beberapa
spesies yang termasuk dalam genus ini :
Orbulina
universa Orbulina bilobata Orbulina suturalis
ii.
Genus Globigerina
1.
Globigerina nephentes
Ciri
khas : aperturenya melengkung semi bulat dengan pinggiran melipat ke atas.
2.
Globigerina praebulloides
Ciri
khas : kamar menggembung, suture pada bagian spiral radial sehingga sangat
melengkung, tertekan, pada bagian umbilical radial, tertekan, umbilicusnya
dalam.
3.
Globigerina seminulina
Ciri
khas : kamar spherical satu yang terakhir elongate, umbilicus kecil hingga
sangat lebar, sangat dalam. Aperture berbentuk elongate atau melengkung rendah,
interiomarginal umbilical dibatasi oleh lengkungan.
4.
Globigerina tripartite
Ciri
khas : tiga kamar pada putaran terakhir bertambah besar ukurannya. Umbilicusnya
sempit dan triangular.
iii.
Genus Globigerinoides
Ciri
morphologinya sama dengan Globigerina tetapi pada Globigerinoides terdapat
supplementary aperture.
Beberapa
spesies yang termasuk dalam genus ini :
1.
Globigerinoides trilobus
Ciri
khas : tiga kamar pada putaran terakhir membesar sangat cepat. Umbilicusnya
sangat sempit. Aperture primernya interiomarginal umbilical, melengkung lemah
sampai sedang dibatasi oleh rim, pada kamar terakhir terdapat aperture
sekunder.
2.
Globigerinoides conglobatus
Ciri
khas : kamar awalnya subspherical, tiga kamar terakhir bertambah secara
perlahan. Umbilicus sempit, tertutup dan dalam. Aperture primer interiomarginal
umbilical, umbilical panjang, melengkung dibatasi oleh sebuah lengkungan, serta
terdapat aperture sekunder.
3.
Globigerina extremus
Ciri
khas : empat kamar terakhir bertambah besar, suture melengkung oblique pada
spiral-spiral dan pada bagian umbilicusnya tertekan, umbilicusnya sempit,
dalam. Semua kamar pada putaran terakhir yang tertekan, oblique lateral.
Terdapat hiasan berupa tooth pada aperturenya.
4.
Globigerinoides fistulosus
Mempunyai
kamar spherical, kamar terakhir bergerigi pada peri-peri, suture pada bagian
spiral melengkung tertekan, umbilicusnya sangat lebar. Aperture primer
interiomarginal umbilical, lebar, terbuka dengan adanya sebuah lip. Terdapat
aperture sekunder pada kamar awalnya.
5.
Globigerinoides immaturus
Tiga
kamar terakhir bertambah besar tidak begitu cepat. Umbilicus sempit. Aperture
primer interiomarginal umbilical dengan lengkungan yang rendah sampai sedang,
dibatasi oleh sebuah rim. Terdapat aperture sekunder pada kamar terakhir.
6.
Globigerinoides primordius
Ciri
khasnya hampir sama dengan Globigerina praebulloides tetapi mempunyai aperture
sekunder pada sisi dorsal.
7.
Globigerinoides obliquus
Satu
kamar terakhir berbentuk oblique. Aperture primer interiomarginal umbilical,
sangat melengkung yang dibatasi oleh sebuah rim. Sebagian kecil dari kamar
terakhir memperlihatkan sebuah aperture sekunder yang berseberangan dengan
aperture primer.
8.
Globigerinoides ruber
Perputaran
kamarnya terlihat mulai dari samping. Aperture interiomarginal umbilical,
dengan lengkungan sedang yang terbuka dibatasi oleh sebuah rim. Pada sisi
dorsal terdapat aperture sekunder.
iv.
Genus Globoquadrina
Bentuk
test spherical, bentuk kamar globural, aperture terbuka lebar dan terletak pada
umbilicus dengan bentuk segiempat, yang kadang-kadang mempunyai bibir.
Beberapa
spesies yang termasuk dalam genus ini :
1.
Globoquadrina dehiscens
Kamar
subglobular menjadi semakin melingkupi pada saat dewasa. Tiga kamar terakhir
bertambah ukurannya secara cepat. Pada kenampakan samping sisi dorsal terlihat
datar.
2.
Globoquadrina altispira
Empat
kamar terakhir bertambah ukurannya secara sedang, umbilicus sangat lebar,
dalam, aperture interiomarginal sangat lebar terlihat elongate pada bagian
atas, terdapat flap.
v.
Genus Sphaeroidinella
Bentuk
test spherical atau oval, bentuk kamar globular dengan jumlah kamar tiga buah
yang saling berangkuman (embracing). Aperture terbuka lebar dan memanjang di
dasar suture. Pada dorsal terdapat supplementary aperture. Mempunyai hiasan
berupa suture bridge.
Spesies
yang termasuk dalam genus ini :
1.
Sphaeroidinella dehiscens
vi.
Genus Sphaeroidinellopsis
Mempunyai
ciri hampir sama dengan genus Sphaeroidinella tapi tidak mempunyai aperture
sekunder.
Spesies
yang termasuk dalam genus ini :
1.
Sphaeroidinellopsis seminulina
vii.
Genus Pulleniatina
Susunan
kamar trochospiral terpuntir. Aperture terbuka lebar memanjang dari umbilicus
kearah dorsal dan terletak didasar apertural face.
Spesies
yang termasuk dalam genus ini :
1.
Pulleniatina obliqueloculata
viii.
Genus Catapsydrax
Mempunyai
hiasan pada aperture berupa ”bulla” pada Catapsydrax dissimilis dan ”tegilla”
pada Catapsydrax stainforthi. Juga mempunyai accessory aperture yaitu
”infralaminal accessory aperture” pada tepi hiasan aperturenya.
Spesies
yang termasuk dalam genus ini:
1.
Catapsydrax dissimillis
2.
Family Globorotaliidae
Umumnya
mempunyai bentuk test biconvex, bentuk kamar subglobular atau anglar conical,
susunan kamar trochospiral. Aperture mamanjang dari umbilicus kepinggir test
dan terletak pada dasar apertural face. Pada pinggir test ada yang mempunyai
keel dan ada pula yang tidak.
Genus
yang termasuk dalam family Globorotaliidae :
i.
Genus Globorotalia
Berdasarkan
ada tidaknya keel maka genus ini dibagi menjadi 2 subgenus, yaitu :
a.
Subgenus Globorotalia
b.
Subgenus ini mencakup seluruh Globorotalia yang mempunyai keel. Untuk
membedakan subgenus ini dengan subgenus lainnya maka penulisannya diberi kode
sebagai berikut : Globorotalia (G)
Beberapa
spesies yang termasuk subgenus ini :
1.
Globorotalia tumida
Test
trochospiral rendah sampai sedang, sisi spiral lebih convex daripada sisi
umbilical, permukaannya licin kecuali pada kamar dari putaran akhir dan
umbilical pada kamar akhir yang pustulose. Suture disisi spiral pada mulanya
melengkung halus lalu melengkung tajam mendekati akhir hampir lurus hingga
radial, pada distal kembali melengkung hampir tangensial ke peri-peri.
2.
Globorotalia plesiotumida
Test
trochospiral sangat rendah, biconvex, tertekan, peri-peri equatorial globulate,
keel tipis. Suture pada bagian spiral melengkung satu pada bagian yang terakhir
subradial, pada sisi distalnya melengkung sangat kuat. Umbilical sempit dan
tertutup dalam, aperture interiomarginal umbilical extra umbilical melengkung
lemah dibatasi oleh lip yang tipis.
c.
Subgenus Turborotalia
Mencakup
seluruh Globorotalia yang tisak mempunyai keel. Untuk penulisannya diberi kode
sebagai berikut: Globorotalia (T)
Beberapa
spesies yang termasuk subgenus ini :
1.
Globorotalia siakensis
Susunan
kamar trochospiral lemah, peri-peri equatorial globulate, kamar tidak rata,
subglobular, kamar 5-6 terakhir membesar tidak teratur. Pada kedua sisi
suturenya radial, tertekan, umbilical agak lebar sampai agak sempit, dalam.
Aperture interiomarginal umbilical extra umbilical, agak rendah, terbuka,
melengkung, dibatasi oleh bibir atau rim.
3.
Family Hantkeniidae
Pada
test terdapat dua umbilicus yang masing-masing terletak pada salah satu sisi
test yang berseberangan. Susunan kamr planispiral involute. Pada beberapa genus
kamar-kamar ditumbuhi oleh spine-spine panjang.
Beberapa
genus yang termasuk dalam family Hantkeniidae :
1.
Genus Hantkenina
Bentuk
test biumbilicate, bentuk kamar tabular spinate dan susunan kamar planispiral
involute, tiap-tiap kamar terdapat spine yang panjang. Contoh: Hantkenina
alabamensis
2.
Genus Cribohantkenina
Mempunyai
ciri hampir sama dengan Hantkenina tetapi kamar akhir sangat gemuk dan
mempunyai cribate yang terletak pada apertural face. Contoh: Cribohantkenina
bermudezi
3.
Genus Hastigerina
Bentuk
test biumbilicate, susunan kamar planispiral involute atau “loosely coiled”.
Mempunyai aperture equatorial yang terletak pada apertural face. Contoh:
Hastigerina aequilateralis.
FORAMINIFERA
BENTONIK
IV.1
DASAR TEORI
Susunan
Kamar Foraminifera Benthos
•
Monothalamus
Adalah
susunan dan bentuk kamar-kamar akhir foraminifera yang hanya terdiri dari satu
kamar. macam - macam dari bentuk monothalamus test :
Bentukü globular atau bola atau spherical.
Terdapat pada kebanyakan subfamily Saccaminidae.
Contoh
: Saccamina
Bentuk botol (flarkashaped), terdapat pada
kebanyakan subfamily Proteonaninae.ü
Contoh
: Lagena
Bentuk tabung (tabular), terdapat pada
kebanyakan subfamili Hyperminidae.ü
Contoh
: Hyperammina. Bathysiphon
Bentuk kombinasi antara tabung dan botol.ü
Contoh
: Lagena
Planispiral kemudian hmls (uncoiling).ü
Contoh
: Rectocornuspira
Zig – zagü
Contoh
: Lenticulina sp.
Radiateü
Contoh
: Astroshizalimi colasandhal
Cabang (bifurcatirtg)ü
Contoh:
Rhabdamina abyssorum
Arburescentü
Contoh
: Dendrophyra crectosa
Tak teratur (irregular)ü
Contoh
: Planorbulinoides reticnaculata
Setengahü lingkaran (hemispherical)
Contoh
: Pyrgo murrhina
Inverted v-shaped chamber (palmate)ü
Contoh
: Flabellina rugosa
Fusiformü
Contoh
: Vaginulina laguman
Pyriformü
Contoh
: Elipsoglandulina velascoensis
Conical (kerucut)ü
Contoh
: Textularia ere/osa
Semicircular (fanshaped-flabelliform)ü
Contoh
: Pavaninaflabelliformis
•
Polythalamus
Merupakan
suatu susunan kamar dan bentuk akhir kamar foraminifera yang terdiri dari lebih
satu kamar, misalnya uniserial saja ata biserial saja.
Macam-macam
polythalamus test :
Uniformed, terdiri dari :ü
§ Uniserial, terdiri dari satu macam
susunan kamar dan sebaris kamar, terdiri dari :
•
Rectilinier (linier punya leber)
Test
uniserial terdiri atas kamar- kamar bulat yang dipisahkan satu sarna lain
dengan stolonxy neck.
Contob
: Siphonogerina, Nodogerina
•
Linier tanpa leber
Kamar
tidak bulat dan antara kamar yang satu dengan kamar yang lainnya tidak didapat
neck.
Contoh
: Nodosaria
•
Equitant uniserial
Test
uniserial tidak mempunyai leher, tetapi sebaliknya kamamya sangat berdekatan
sehingga menutupi sebagian yang lain.
Contoh
: Glandu/ina
•
Curvilinierl uniserial arcuate
Test
uniserial tapi sedikit melengkung dan garis batas kamar satu dengan yang
lainnya atau sututre membentuk sudut terhadap sumbu panjang.
Contoh
: Dentalina
•
Coiled test atau test yang terputar, macamnya :
Planispiral coiled testv
Test
yang terputar pada satu bidang datar, di bagi dua :
Involuteü
Test
yang terputar dengan putaran akhir menutupi putaran yang sebehunnya, sehingga
putaran akhir saja yang terlihat. Contoh : Elphidium
Evoluteü
Test
yang terputar dengan seluruh putaramlya dapat terlihat. Contoh : Anomalia
Nautiloid testv
Test
yang terputar dengan kamar-kamar di bagian umbilical (ventral) menumpang satu
sarna lain, sehingga kelihatan karnarkamarnya lebih besar ill bagiall peri-peri
daripada di bagian umbilicus. Contoh : Nonion
Rotaloid testv
Test
yang terputar tidak pada satu bidang, dengan posisi pada dorsal seluruh putaran
terlihat, sedang pada ventral hanya putaran terakhir yang terlihat. Susunan
kamar ini disebut juga Low Trochospiral. Contoh : Rotalia
Helicoidv test
Test
yang terputar meninggi, dimana lingkarannya dengan cepat menjadi besar.
Terdapat pada subfamily Globigerinidae (plankton). Susunan kamar ini disebut
juga High Trochospiral. Contoh : Globigerina
Biserial, test yang tersusun dua baris kamar
yang terletak berselang-seling. Contoh: Textularia§
Triserial, test yang tersusun oleh tiga baris
kamar yang terletak berselang- seling. Contoh : Uvigerina, Bulimina§
Biformed Testü
Merupakan
dua macam susunan kamar yang sangat berbeda satu dengan yang lain dalam satu
buah test, misalnya biserial pada awalnya kemudian menjadi uniserial pada
akhirnya.
Contoh
: Bigerina
Triformed Testü
Merupakan
tiga bentuk susunan kamar dalam sebuah test, misalnya permulaan biserial
kemudian berputar sedikit dan akhirnya menjudi uniserial.
Contoh:
Vulvulina
Multiformed Testü
Dalam
sebuah test terdapat > 3 susunan kamar. Bentuk ini sangat jarang ditemukan.
Aperture
Foraminifera Bentos
Golongan
benthos memiliki bentuk aperture yang bervariasi. Dan aperture itu sendiri
merupakan bagian penting dari test foraminifera, karena merupakan. lubang
tempat protoplasma organisme tersebut bergerak keluar dan masuk.
Macam-macam
aperture pada foraminifera benthos :
•
Simple Aperture, yaitu :
At end of tabular chamberü
At base of aperture faceü
In middle aperture faceü
Aperture yang bulat dan sederhana, biasanya
terletak diujung sebuah test (terminal), lubangnya bulat.ü
Aperture comma shaped, mempunyai
koma/melengkung, tetapi tegak lurus pada permukaan septal face.ü
Apertureü phyaline, merupakan sebuah lubang
yang terletak diujung neck yang pendek tapi menyolok.
Apertureü slit like, berbentuk lubang sempit
yang memanjang, umum dijumpai pada foraminifera yang bertest hyaline.
Aperture crescentic, lubangnya berbentuk tapal
kuda.ü
•
Supplementary Aperture, yaitu :
Infralaminal accessory aperture – dendritikü
Apertureü yang memancar (radiate), merupakan
sebuah lubang yang bulat, tapi mempunyai pematang yang memancar dari pusat
lubang.
Radiate with apertural facechamberlet.ü
•
Multiple Aperture, yaitu :
Multiple sutural, aperture yaüng terdiri
dari banyak lubang, terletak di sepanjang suture.
Apertureü cribralateral, cribrate/inapertural
face cribrate. Bentuknya seperti saringan, lubang uummnya halus dan terdapat
pada permukaan kamar akhir.
Terminalü
•
Primary Aperture, yaitu :
Primary aperture interiomarginal umbilicalü
Interiomarginalü umbilical extra runbilical/simple
aperture lip/ ventral and peripheral.
Spilo umbilical/interiomarginal equatorial.ü
BAB
VI
ANALISA
FORAMINIFERA
VI.1
DASAR TEORI
Penentuan
Umur Relatif
Cara
menentukan umur relatif pada umumnya didasarkan atas dijumpainya fosil didalam
batuan. Didalam mikropaleontologi cara menentukan umur relatif dengan
menggunakan :
Foraminifera Kecil Planktonik :ü
Disamping
jumlah genus sedikit, plankton sangat peka terhadap perubahan kadar garam, hal
ini menyebabkan hidup suatu spesies mempunyai kisaran umur yang pendek sehingga
baik untuk penciri umur suatu lapisan batuan.
Biozonasi
foraminifera planktonik yang populer dan sering digunakan di Indonesia adalch
Zonasi Blow (1969), Bolli (1966) dan Postuma (Indonesia adalch Zonasi Blow
(1969), Bolli (1966) dan Postuma (1971)
Foraminifera Besar Bentonik :ü
Dipakai
sebagai penentu umur relatif karena umumnya mempunyai umur pendek sehingga
sangat baik sebagoi fosil penunjuk.
Penentuan
umur berdasarkan foraminifera besar, khususnya di Indonesia biasanya
menggunakan Klasifikasi Huruf, antara lain. Klasifikasi 'Huruf yang dikemukakan
oleh Adams (1970).
Penentuan
Lingkungan Pengendapan
Lingkungan
pengendapan adalah suatu kumpulan dari kondisi fisika, kimia, dari biologi
dimana sedimen terakumulasi (Krumbein & Sloss, 1963). Selain tersabut di
atas banyak pula para ahli yang mengemukakan tentang definisi lingkungan
pengendapan antara Selly, 1978, mendefinisikan suatu keadaan dipermukaan bumi
yang disebabkan olen interaksi antara faktor-faktor fisika kimia dan biologi
dimana sedimen tersebut diendapkan.
Faktor
fisika meliputi kadar garam, kecepatan arus, kedalaman air, kecepatan angin dan
sebagainya. Faktor kimia meliputi kadar garam, keasaman, kebasaan air serta
komposisi kimiu batuan.
Sedangkan
yang dipelajari dalam praktikum ini adalah. faktor biologi yang mempelajari
kehidupan organisme masa lampau berdasarkan Iingkungan hidupnya.
Metode
yang dipakai untuk menentukan lingkungan pengendapan tersebut adalah :
1.
Menggunakan Ratio Plankton / Bentos
2.
Menggunakan Foraminifera Kecil Bentonik
Penentuan Lingkungan Pengendapan dengan Rasio
Plankton/ Bentosü
%
Ratio Plankton Kedalaman (m)
1
- 10 0 - 70
10
- 20 0 - 70
20
- 30 60 - 120
30
- 40 100 - 600
40
- 50 100 - 600
50
- 60 550 -700
60
- 70 680 - 825
70
- 80 700 - 1100
80
- 90 900 - 1200
90
- 100 1200 - 2000
Tabel
Kedalaman dari Grimsdale dan Mark Hoven (1950)
Linqkunqan
Penqendapan Bentos Kedalaman % Ratio
Neritik
Tepi 0 - 20 0-20
Neritik.Tengah
20 - 100 20 - 50
Neritik
Atas 100 - 200 20 - 50
Bathyal
Atas 200 - 500 30 - 50
Bathyal
Bawah 500 - 2000 50- 100
Penentuan Lingkungan Pengendapan dengan
Foraminifera Kecil Bentonikü
Foraminifera
kecil benthonik dipakai sebagai penentu lingkungan pengendapan karena golongan
ini hidupnya sangat peka terhadap lingkungan, sehingga hanya hidup pada
lingkungan dan kedalaman tertentu. Selain itu karena benthonik hidup di dasar
laut baik menambat ataupun merayap. Berdasarkan hal tersebut diatas maka
beberapa ahli mengelompokkan suatu komuniti yang hidup sesuai dengan lingkungan
hidupnya jika dihubungkan dengan faktor kedalaman yang dikenal dengan nama zona
bathymetri.
Tipsword, Setzer don Smith (1966)ü
Menyusun
klasifikasi "Zona bathymetri untuk lingkungan pengendapan marine bdsr data
asosiasi mikrofosil & rasio P/B dari Teluk Mexico, digabungkan dengan data
asosiasi Iitologi, sedimentologi & tektoniknya. Klasifikasinya dapat
digunakan untuk dasar penentuan paleobatimetri batuan Kenozoikum. Dari
penelitiannya diusulkan 8 zona Iingkungan pengendapan sbb :
a.
Darat: Miskin fauna.
b.
Transisi: air asin, teluk, payau, lagoon, estuarine.
c.
Paparan dalam - laut terbuka yang terdangkal (neritik tengah) kedalamannya
0-20m (0-66 ft).
d.
Paparan tengah - laut terbuka intermediate (neritik tengah) kedalaman 20-100m
(66-328 ft).
e.
Paparan luar - laut terbuka lebih dalam (neritik luar) kedalamn 100-200m
(328-656 ft).
f.
Lereng atas - laut dalam (bathyal atas) kedalaman 200-500m (656-1640ft).
g.
Lereng bawah - laut dalam (bathyal bawah) kedalaman 500-2000m (1640-5650 ft).
h.
Abysal - laut dalam lebih besar 2000m, lebih besar dari 6560 ft.
Setelah
fosil diketahul genus dan spesiesnya, kemudian dikelompokkan menjadi satu. Dari
asosiasi fosil dalam satu sampel kemudian dicocokkan dengan zona ekologi yang
dibuat oleh Tipsword dkk.
Roberütson Research (1985)
Melakukan
penelitian di Asia Tenggara, L.Cina Selatan, Gulf Coast, Teluk Thailand,
Kep.Solomon dengan cara penentuan yang sama dengan Tipsword, dkk yaitu dengan
asosiasi fosil bukan kisaran kedalaman. Tetapi pembagiannya lebih banyak, dimana
dijelaskan juga fosil-fosil yang hidup bukan pada Iingkungan marin saja.
Phleger (1951)ü
Penentuan
lingkungan pengendapan berdasarkan kisaran kedalamannya (Tabel 1.7). dari hasil
yang dianalisis dan sudah diketahui genus dan spesiesnya kemudian dilinat pada
tabel diatas dan dibuat tabel tersendiri seperti pada contoh di bawah ini
Phleger
(1951) melakukan penelitian pada sedimen marin, berumur Resen di Teluk Mexico
& beberapa tempat di dunia dan berhasil menyusun klasifikasi dasar laut,
serta akumulasi foram bentos tertentu pada kedalaman tertentu.
Van Marie (1987)ü
Melakukon
penelitian biofasies dasar laut berdasarkan foraminifera benthik peda sedimen
Kenozoikum Resen di daerah Busur Banda (Indonesia timur).
Berdasar
foram resen pada sedimen dasar laut, dengan metode matematik-statistik dengan
rnembandingkan hasil penghitungan fosil Kenozoikum akhir-resen.
VI.2
PEMBAHASAN ANALISA SAMPEL
FISIOGRAFI
REGIONAL
Fisiografi
Jawa Tengah dibagi 5 Zona Fisiografi ( Van Bemmelen) :
-
dataran pantai utara jawa
-
zona punggungan serayu utara
-
zona depresi tengah dengan komplek gunung kwarter
-
Zona pegunungan serayu selatan
-
Zona pegunungan selatan
Sujanto
dan Reskami (1957), membagi jawa tengah bagian selatan menjadi zona
tektonofisiografi dari utara ke selatan . Daerah Gamping termasuk ke dalam Zona
punggungan Serayu Utara
STRATIGRAFI
REGIONAL
Zona
Serayu Utara secara umum terdiri dari beberapa formasi yang menyusun
stratigrafi daerah tersebut, antara lain meliputi :
Formasi
Nanggulan (Teon), Terendapkan pada Eosen – Oligosen Tengah, terdiri dari
batupasir bersisipan dengan lignit dan napal pasiran, batupasir umumnya melapuk
sedang, berwarna abu – abu kecoklatan, barlapis, batupasir sedang – kasar,
agak, padu (kompak). Formasi ini tersingkap setempat – setempat di daerah
Kokap, Blumbang dan Tegalarum kabupaten Kulonprogo.
Foramsi
Kebobutak ( Tmok ), terendapkan pada Oligosen Tengah – Miosen Tengah terdiri
dari breksi, tufa dan aglomerat. Breksi umunya melapuksedang, merah kecoklatan,
komponen batuan andesitik ( 5-30 cm ) agak segar menyudut tanggung, tertanam
pada masadasar pasir tufa berbutir kasar, agak padat sebagian mudah hancur.
Tufa melapuk sedang, kuning kecoklatan , batuan dasitik dan andesitik,
berukuran butir pasir sedang, Aglomerat umunya melapuk kuat, putih keabuan agak
padu, mudah hancur, komponen batuan andesitik ( 5-20 ) tertanam dalam masa
dasar pasir kasar, agak padat. Batulanau umumnya melapuk sedang, abu-abu
kecoklatan sebagian menyerpih dan mudah hancur. Formasi ini tersingkap sebagian
besar di Kabupaten Kulonprogo bagian baratyang membentuk Satuan morfologi
Pegunungan.
Formasi
Jonggrangan (Tmj), diendapkan pada miosen tengah sampai Pliosen awal, terdiri
dari konglomerat, napal tuffaan dan batupasir gampingan. Konglomerat umumnya
melapuk rinegan-sedang, coklat keabuan, terdiri dari masa dasar pasir sedang,
agak padu, ukuran butir komponan kerikil-krakal (2-30 cm) membentuk membulat
tanggung- menyudut tanggung. Napal tuffaan mumnya melapuk sedang, abu keciklatan,
padu. Batupasir gampingan melapuk sedang, abu-putih kecoklatan, padu, ukuran
butir sedang-kasar. Formasi ini tersingkap di sebagian wilayah pegunungan di
bagian barat Kabupaten Kulonprogo.
Formasi
Sentolo (Tmps), terendapkan pada Miosen Tengah sampai pliosen, terdiri dari
batugamping sampai batupasir napalan. Formasi ini tersingkap di daerah
Girigondo, Gotakan, Wates, Tawang, Lendah, Sentolo, dan Tamantirto.
Batuan
terobosan berupa diorite (dr), andesit (a), dan dasit (da) yang secara rinci
dapat dijelaskan sebagai berikut :
a.
Andesit (a) : rangkaian intrusi andesit tua berumur Miosen Awal yang tersingkap
jelas pada punca-puncak perbukitan G. telu dan G. Kukusan di bagian selatan
hingga G. Pencu di bagian Utara (bagian barat Kabupaten Kulonprogo).
b.
Diorit (d) : intrusi batuan beku hornblende berumuer Miosen Awal, tersingkap di
G. Wungkal, sangat keras, hasil Pelapukan lanau lempungan, abu-abu kecoklatan,
plastisitas sedang, lunak.
c.
Dasit (da) : intrusi batuan beku dasit berumur Miosen Tengah yang menerobos
andesit(a), hasil Pelapukan lanau lempungan, abu-abu kecoklatan, plastisitas
sedang, lunak.
Endapan
kuarter terdiri dari :
a.
Produk gunung merapi tua (Qmo) yang berupa breksi, aglomerat, lelehan lava yang
terdapat di sekitar gunung merapi.
b.
Produk gunung merapi muda (Qmi), berupa tuff,abu, breksi,aglomeratdan lava
terdapat pada sebagian besar wilayah dengan satuan Morfologi Dataran yaitu
Yogyakarta dan Bantul.
c.
Produk gunung nerbabu (Qme), sumbing tua (Qsmo), sumbing muda (Qqsmo), sumbing
muda (Qsm) yang umumnya berupa breksi andesit dan tuff terdapat di bagian utara
Kabupaten Sleman dan wilayah Jawa Tengah bagian selatan.
d.
Endapan koluvium (Qc) berupa rombakan takterpilahkan dari formasi dari formasi
Kebobutak terdapat di daerah Kenteng dan Banjararum.
Endapan
alluvium (Qa) yang berupa kerakal, pasir, lanau, dan lempung terdapat I
sepanjang sunagi besardan wilayah pesisir selatan.
STRATIGRAFI
LOKAL
Daerah
telitian merupakan daerah Kulonprogo yang termasuk kedalam formasi Sentolo
dimana formasi tersebut mempunyai litologi pada bagian paling bawah terdiri
dari napal pelagic dengan sisipan batugamping foraminifera melimpah, dan
diendapkan pada zona bathimiteri neritik luar-laut terbuka. Sedangkan pada
bagian atas didominasi batulempung dengan lingkungan pengendapan laut terbuka
dan dalam. Pada Formasi ini punya kandungan foraminifera yang melimpah, umurnya
dalah miosen awal-Pliosen dengan tebal lebih dari 1100 meter. Mempunyai
hubungan stratigrafi selaras dengan Formasi Dukuh.
Formasi
Sentolo terendapkan pada miosen tengah sampai pliosen, terdiri dari batugamping
dan batupasir napalan. Formasi ini tersingkap di daerah Girigondo, Gotakan,
Wates, Tawang, Lendah, Sentolo, dan Tamantirto.
KESIMPULAN
UMUM
Dari
hasil praktikum yang telah dilaksanakan didapatkan kesimpulan secara umum,
yaitu :
1.
Mikropaleontologi merupakan cabang dari ilmu paleontologi yang mempelajari sisa
– sisa organisme yang telah terawetkan di alam berupa fosil yang berukuran
mikro.
2.
Kegunaan fosil foraminifera adalah :
o
Untuk penentuan umur batuan yang mengandung fosil foraminifera tersebut.
o
Membantu dalam studi lingkungan pengendapan atau fasies.
o
Korelasi stratigrafi dari suatu daerah dengan daerah lain, baik korelasi
permukaan atau korelasi bawah permukaan.
o
Membantu menentukan batas – batas suatu transgresi dan regresi, misalnya dengan
menggunakan foraminifera benthos Rotalia beccarii ( fosil penciri daerah
transgresi ), Gyroidina soldanii ( fosil penciri bathial atas ) dan lain –
lain.
o
Bahan penyusun Biostratigrafi.
3.
Foraminifera kecil benthonik dipakai sebagai penentu lingkungan pengendapan
karena golongan ini hidupnya sangat peka terhadap lingkungan, sehingga hanya
hidup pada lingkungan dan kedalaman tertentu.
4.
Test adalah bentuk keseluruhan dari cangkang foraminifera. Sedangkan bentuk
kamar adalah bentuk dari masing-masing kamar pembentukan test.
5.
Septa adalah bidang yang merupakan batas antara kamar satu dengan yang lainnya,
biasanya terdapat lubang-lubang halus yang disebut dengan foramen
Suture
merupakan garis yang terlihat pada dinding luas test, merupakan perpotongan
septa dengan dinding kamar. Suture penting dalam pengklasifikasian foraminifera
karena beberapa spesies memiliki suture yang khas.
6.
Berdasarkan komposisi test foraminifera dapat dikelompokkan menjadi empat,
yaitu :
•
Dinding Chitin / tektin.
•
Dinding Arenaceous dan aglutinous.
•
Dinding Siliceous.
•
Dinding Calcareous atau gampingan
7.
Lingkungan pengendapan adalah suatu kumpulan dari kondisi fisika, kimia, dari
biologi dimana sedimen terakumulasi (Krumbein & Sloss, 1963).
DAFTAR
PUSTAKA
Ali,
S.S.,M.N.Nessa, dan A.Rahman, 1992. Rangkuman beberapa hasil penelitian Lola
Trochus niloticus spp. Prosiding Temu Karya Ilmiah Potensi Sumberdaya
Kekerangan Sulawesi Selatan dan Tenggara. 102 – 108
Amirthalingan,
C. 1932. Correlation of sex and shell structure in Mollucs Trochus niloticus
Linn. Current Science (1): 72 –73
Asano,
N. 1939. On the spawning saeason of top shell. Journal of Fisheries vol 34(1):
36-38
_______,
1944. On the food of top shell from Palau Island. Journal of fisheries 35(4):
8p
Arafin,
Z. 1993, Geographical distribution, habitat and fishery of top shel (Trochus
niloticus) in Maluku. Perairan Maluku dan Sekitarnya, Ambon : 93 – 101
Dharma,
B. 1988, Siput dan kerang Indonesia I (Indonesian Shells). PT. Sarana Graha,
Jakarta :135 hal
Dobson,
G., and C.J.Lee, 1996., Improved method of determining the sex of the marine
top shell (Trochus niloticus) (Mollucs: Gastropoda) for spawning. Aquaculture
(139):329 – 331.
Eddy
Soekendarsi,M Iqbal Djawal and Y.Paonganan.2001. Growth rate of Trochus
niloticus L.fed on four species of benthic marine macroalgae. Phuket marine
biological center special publication 25(1):135-137
Adams,
C.G., 1970. A Reconsideration of The East Indian Letter Clasification of The
Tertiary. Br. Mus. Nat. Hist. Bull. (Geol), h.87-137
Blow,
W.H. 1969. Late Middle Eocene to Recent Planktonic Foraminifera Biostratigraphy
Cont. Planktonic Microfossil, Geneva, 1967, Pro. Leiden, E.J Bull v.!
Cushman,
J.A., 1969 Foraminifera Their Classification and Economic Use, Cambridge,
Massachusets, USA Harvard University Press
Kennett,
J.P Srinivasan, M.S 1983. Neogene Planktonic Foraminifera. Hutchinson Ross
Publishing Company, h.265
Maha
M. 1995. Biozonasi, Paleobatimetri dan Pemerian Sistematis Foraminifera Kecil
Sumur TO- 04, Sumur TO- 08 dan Sumur -95, Daerah Cepu dan sekitarnya, Cekungan
Jawa Timur Utara, Thesis, ITB, Bandung
Phleger,
F.B. 1951 Ecology of Foraminifera, Northwest Gulf of Mexico, The Geological
Society of America, Memorial 46
Postuma,
J.A 1971 Manual of Planktonik Foraminifera, Amsterdam, London, New York,
Elsevier Publishing Company.
Pringgopawiro
H, 1984. Diktat Mikropaleontolgi Lanjut, Laboratorium Mikropaleontologi Jur. T
Geologi, ITB, Bandung
Subandrio,
A. 1994. Study Paleobathimetry Cekungan Sumatera Utara, Subcekungan Jambi dan
Cekungan Barito, Thesis ITB, Bandung
Tidey,
G.L 1985, Bentonic Foraminifera Age Zonation and Environment of Deposition,
Robertson Research LTD, Singapore
Tipsword,
H.I. Setzer, F.M. Smith, Jr, F.L., 1956. Introduction of Depositional
Environment in Gulf Coast Petroleum Exploration from Paleontology and Related
Stratigraphy, Houston